• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
  • When Architecture Meets Movies

    7.12.2012
    Dalam posting sebelumnya, aku berjanji untuk melakukan suatu hal yang berguna. Oke, akan kucoba..
    Mari kita mulai dengan film-film yang mendapat perhatianku. Aku cenderung menyukai film yang memuat unsur arsitektur. Ya.. aku tergila-gila dengan arsitek. Dan bagian tubuh yang paling kusukai adalah.. Kantung mata! Kalian mengerti kan korelasinya?

    Mahasiswa jurusan arsitektur atau arsitek itu sendiri terbiasa bekerja dalam waktu yang cukup larut. Mungkin beberapa dari mereka marah kepada Tuhan mengapa Dia hanya menyediakan 24 jam untuk satu hari. Akan lebih baik jika kita memiliki 30 jam, waktu lebih untuk istirahat! Pernah kali itu, aku sedang berkirim pesan dengan salah satu kawan, mahasiswa arsitektur Undip. Kita sebut saja Teman Veda (TV)

    TV  : "Veda bisa bangunin aku ngga? Aku mau tidur bentar"
    V    : "Oke.. Mau dibangunin jam berapa emang?"
    TV  : "Mmm.. Sepuluh menit lagi ya. Pokoknya sampe bangun. Suwun lho (terima kasih lho)"
    V    : ....

    Sepuluh menit kemudian kami sudah tersambung lewat telepon

    V   :  "Seriusan banget tidur cuman 10 menit? Tidur macam apaaaa?"
    TV :  "Yang penting cukup buat merem. Aku harus ngumpulin maket jam 6 nanti. Kalo ngga aku bisa dibunuh dosen."

    Dan saat aku menutup telepon setelah pembicaraan yang -semoga- dapat memulihkan kesadarannya, jam menunjuk pukul 3.15 pagi. Epic job is epic.

    banyak begadang mengarah pada kantung mata yang membesar. Kantung mata yang membasar mengarah pada kerja keras yang (mungkin) mengenal lelah, tetapi mengesampingkannya. Arsitek menunjukkan bahwa seni membutuhkan kerja keras. Dua hal kesukaanku, seni dan kerja keras, yang melebur menjadi satu, arsitektur. Hal ini mengantarkanku pada film-film seperti

    1. 500th Days of Summer 


    Ini adalah salah satu film Indie terbaik yang pernah aku tonton, pertama kali diperkenalkan dalam Cannes movie festival. Pasti kalian sudah tau banyak tentang film ini. Singkat saja, untukku, film ini adalah film roman yang paling logis yang pernah ada. Seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita dalam sebuah kemungkinan yang sangat kecil. Si laki-laki merasa yakin dengan si wanita, tapi sebaliknya, si wanita tidak merasa demikian, dan tetap demikian meskipun telah melewati beberapa ratus hari dengan si laki-laki. Mereka menjalani sebuah hubungan yang inkonstitusional; tidak melalui deklarasi resmi (jaman sekarang sepertinya hal itu tidak terlalu penting juga), tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan murni terbentuk karena konsensus. Dalam film ini kita diantar ke dalam pemikiran bahwa terkadang bukan keadaan dan bukan orang lain yang salah, tapi sudut pandang yang kita gunakan. Hal ini tercitrakan secara sempurna dalam scene expectation vs reality. Selain itu, kita juga diajarkan untuk melihat dengan hati, memilih yang hati kita tunjuk untuk dipilih. Summer Finn dengan gaya classy, tempting, dan tidak mudah 'dibaca'. Tom Hansen dengan mimpinya sebagai seorang arsitek yang merasa beruntung menemukan Summer Finn. Komposisi yang pas.

    2. The Lake House

    Film roman lain dengan twist yang cukup untuk bikin kamu bete dan senang dalam waktu yang bersamaan. Film ini bercerita tentang TDR, Time Different Relationship dimana sepasang manusia saling jatuh cinta melalui surat yang dikirimkannya satu sam lain. Mereka hidup di tahun yang berbeda, dan tersebutlah kotak pos ajaib yang menghubungkan keduanya. Mereka bersaing dengan waktu, mencari kapan ia lengah, dan melalui hitungan matematis mereka berusaha mencuri kesempatan untuk bertemu. Mereka tadinya tinggal di tempat yang sama, rumah kaca di tengah danau buatan si laki-laki yang bekerja sebagai arsitek. Menyenangkan, menegangkan, mengharukan. Pertama kali menontonnya, film ini terus memenuhi kepalaku. Dan bagian terbaik dalam film ini: Keanu.

    3. C I N (T) A

    One sentence: watch it by yourself, and later come back to me for payback because I've asked you to watch this movie. EPIC. 

    So,selamat menonton! :) 

    Trash part 1

    Sekitar 230 bahasa di dunia ini. Aku berbicara dengan Bahasa Indonesia. Cukup baik dalam Bahasa Inggris. Tiga tahun mempelajari Bahasa Jepang,dan sehubungan dengan sahabat penaku yang berkewarganengaraan Perancis, Meg, aku kini mempelajari Bahasa Perancis juga. Tetapi jika kau tanya mana yang menjadi favoritku, sudah pasti jawabannya adalah Bahasa Jawa. 

    Dari banyak bahasa tersebut, tidak ku temukan satu kata yang bisa mendeskripsikan ini. Mmm.. Sebuah komplikasi konstan antara tidak ingin bernafas menghirup depresi tetapi tak bisa meluputkan diri dari rutinitas yang mencekik. Kesemuanya mengaduk-aduk, menjegal syaraf kesadaran, mengacau perputaran hormon, dan akhirnya menuntun hati dan otak untuk bersinegi agar tidak melakukan apa-apa. 

    Jika boleh ku deskripsikan dalam satu kalimat, antara ingin melakukan karena memang menginginkannya dan dalam saat yang sama, tidak ingin melakukan karena takut merasa bersalah. Mungkin dalam Spiderman, Peter Parker menyatakan dengan, 'that you feel so strong and weak in the same time'.

    Baik baik.. cukup untuk posting yang sampah. Mari kita coba melakukan hal yang lebih berguna :) 

    Tentang yang Masih Melekat

    7.10.2012

    Ini yang selalu ingin kulakukan; memelukmu dengan hangat untuk sepuluh menit ke depan. Bermain dengan tanganmu, mengisi ruas-ruas jarimu dengan milikku untuk sepuluh menit lainnya. Melingkarkan lenganku di tulang lehermu, dan bersandar untuk puluhan menit berikutnya. Setelah genap satu jam, akan kubuat pengakuan bahwa berada di dekatmu adalah tempat ternyaman sedunia. 

    Layaknya savana dengan mata air. Di dekatmu aku merasa lapang, dalam jarak yang bertaut dan menyesakkan. Menyejukkan, membuai dalam kepengapan. 

    Hanya bersamamu pembicaraan tentang filsafat atau revolusi ekonomi Cina dan sejenisnya akan sangat gagal. Bersamamu, kita tak akan pernah membicarakan kontroversi keberadaan Penembak Misterius yang masih eksis di Irian Jaya. Kita tak akan pernah membicarakan betapa aku mengagumi Goenawan Mohammad dan syair-syairnya dalam Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai. Tak ada diskusi ilmiah dan seni. Tak ada pembicaraan cerdas.

    Dan aku terbiasa memilih membuang momen-momen tak bermanfaat seperti itu. Tetapi bersamamu, pembicaraan sampah pun tak akan pernah kulewatkan.

    Istimewa. Sekalipun kamu tak mengenyam filsafat dan seni, tak hobi bermain teater, tak pandai menenun frasa. Sekalipun kamu bukan mahasiswa jurusan arsitektur yang mahir melukis sketsa. Sekalipun kamu tak mengerti musik 70's mancanegara. Sekalipun kamu tak meraih IPK tiga koma lima. Sekalipun kamu sudah berdua dan kenyataan bahwa kita tak pernah benar-benar bersama, kamu masih istimewa.

    Mereka bilang, 'sudah tiga tahun'. Untukku, 'baru tiga tahun'. 

    Jaga dirimu baik-baik.

    Teguh yang Salah dalam Sebuah Stagnansi

    Awalnya aku selalu mencari sebuah kehidupan yang berharga; bermakna, berbicara tentang suatu pilar prinsip yang melahirkan keberanian dan keangkuhan untuk mempertahankannya. 

    Aku, seorang liberalis, pasti kalian sudah tau itu. Keputusanku untuk menjadi seorang pengelu kebebasan adalah, karena untukku, perspektif terbaik adalah dengan menjadikan pribadi insan sebagai fokus utama dalam perputaran semesta. Pengelihatanku yang paling sempurna, demikian juga dengan pendengaran dan perasaan. Pergerakan dunia yang menyesuaikan iri dengan indera. Orang bebas berkutat dengan pemikiran dan prinsipnya, karena itulah yang membubuhkan makna dalam realisasi hak asasi manusia. Mereka berhak, dan itu adalah hal kodrati. Bagaimana seseorang menentukan jalan yang akan dilalui, batu yang akan ditapaki, gerbang yang ingin dia lewatkan, itu sepenuhnya, hak yang melekat secara kodrati. 

    Siang ini, seperti biasa, mereka beradu kata. Berusaha memperebutkan label menang yang merefleksikan kebenaran, atau kalah; dalam hal ini, a contrario, kalah akan selalu berarti salah. Pertengkaran yang sangat biasa, yang justru telah menjadi salah satu komposisi esensial dalam keseharian. Tanpanya, kikuk, tak biasa, tak lumrah. Ibu akan selalu lebih sering kalah daripada menang. Dia salah, selalu. Jika tidak demikian, justru keadaan jadi kikuk, tak biasa, tak lumrah. 

    Dalam kontemplasi, aku menyadari bahwa kesalahan yang periodikal adalah teman baik Ibu. Lambat laun, ide yang meletup adalah sebenarnya Ibu tak selalu salah atau tertinggal dalam materi yang diperdebatkan. Ibu selalu salah dalam menyajikan masalah dalam sebuah perdebatan. Caranya. Dia selalu menjadi dirinya sendiri, sesuka hati. Membentuk gambaran yang oleh sel otaknya dinyatakan sebagai apa yang benar. Mungkin dia lupa dia sedang tak bermonolog. Dia membebaskan dirinya dalam perdebatan yang tak bebas. Dia liberal dalam sebuah kekangan. Dan itu merujuknya pada falasi.

    Kita harus menyesuaikan liberalisme itu. Dia akan tumbuh, seperti pohon yang kian rindang dan menjelma menjadi kanopi, menjulang. Namun bukan berarti kita tak dapat memangkasnya. Mengendalikan pedal, itu yang harus dilakukan untuk bertahan. Karena kita hidup tak sendiri. Karena manusia adalah serigala bagi manusia lain, setidaknya demikian ucap Thomas Hobbes melalu frasa ‘homo homini lupus’-nya yang sangat termashyur. Manusia adalah makhluk sosial, dan aku benci mengakuinya. Dan jika mau merunut, kehidupan antar pribadi adalah sebuah conditia sine qua non, sebuah kasualitas. Aku hidup karena ayah dan ibu. Ayah dan ibu adalah sebuah komplemen. Sebuah rantai sosial dengan ketidakberhinggaan.

    Terlepas dari ide ini, aku akan tetap, dan selalu menjadi seseorang yang tak sepenuhnya.