• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
  • Bintang-Bintang yang Berpergian

    7.18.2012
    Sedang tidak baik, dalam derai senyum dan bahak tawa.
    Sedang tidak baik, berkoherensi dengan yang lalu, atau yang akan.
    Keduanya tipikal, sudah biasa, tapi menyebalkan. Sebal oleh konstelasi pemikiran yang kita lukis sendiri dengan imaji sebagai telunjuk jari. Menghubungkan satu titik ke titik lain, membentuk rasi peristiwa yang berpendar dalam semesta langit bayangan. Rasi yang biasanya abstrak, dan bercerita tentang yang tidak bahagia. Kesemuanya membentuk paket yang kerap disebut kekhawatiran.

    Bapak, Ibu, hari ini; kita.
    Tidur dalam ranjang yang sama, menghangatkan selimut yang sudah hangat.
    Menapak jalan yang sama, meringankan langkah yang sudah ringan.
    Bercerita dengan bahasa cinta yang sama, dalam atmosfer yang kerap disebut keluarga.

    Bapak, Ibu, hari ini; kita.
    Esok, Bapak, Ibu, dan aku, adalah 'aku' yang saling menyendiri. Masih tekun menghitung kilometer yang pahit, masih tekun menyisir angka hari yang hambar. Menanti waktu dan tempat bertemu yang padu.

    Yang bermakna, saat menghisap puntung hidup bersamamu. Meregang memori yang tak ingin kuingat dalam asap yang akan bersenyawa dengan ketiadaan. Membakar yang harus dijadikan pelajaran dalam abu bertempat; tak berarti, tapi tak pantas dilupakan.

    Bapak, Ibu, hari ini; kita-baru mengenal makna, melalui selamat tinggal yang semakin sering. Selamat tinggal yang akan  menggantung di udara.
    Namun, telah kau wakilkan kehadiranmu dengan doa, dan itu cukup.
    Sungguh sangat cukup.
    Kita akan saling baik-baik saja, dalam rasi peristwa menyenangkan yang selalu kita impikan, jika kau percaya.

    Bapak, Ibu, ku tinggalkan kotak di depan pintu.
    Di dalamnya ada selamat tinggal yang lain.

    When Architecture Meets Movies

    7.12.2012
    Dalam posting sebelumnya, aku berjanji untuk melakukan suatu hal yang berguna. Oke, akan kucoba..
    Mari kita mulai dengan film-film yang mendapat perhatianku. Aku cenderung menyukai film yang memuat unsur arsitektur. Ya.. aku tergila-gila dengan arsitek. Dan bagian tubuh yang paling kusukai adalah.. Kantung mata! Kalian mengerti kan korelasinya?

    Mahasiswa jurusan arsitektur atau arsitek itu sendiri terbiasa bekerja dalam waktu yang cukup larut. Mungkin beberapa dari mereka marah kepada Tuhan mengapa Dia hanya menyediakan 24 jam untuk satu hari. Akan lebih baik jika kita memiliki 30 jam, waktu lebih untuk istirahat! Pernah kali itu, aku sedang berkirim pesan dengan salah satu kawan, mahasiswa arsitektur Undip. Kita sebut saja Teman Veda (TV)

    TV  : "Veda bisa bangunin aku ngga? Aku mau tidur bentar"
    V    : "Oke.. Mau dibangunin jam berapa emang?"
    TV  : "Mmm.. Sepuluh menit lagi ya. Pokoknya sampe bangun. Suwun lho (terima kasih lho)"
    V    : ....

    Sepuluh menit kemudian kami sudah tersambung lewat telepon

    V   :  "Seriusan banget tidur cuman 10 menit? Tidur macam apaaaa?"
    TV :  "Yang penting cukup buat merem. Aku harus ngumpulin maket jam 6 nanti. Kalo ngga aku bisa dibunuh dosen."

    Dan saat aku menutup telepon setelah pembicaraan yang -semoga- dapat memulihkan kesadarannya, jam menunjuk pukul 3.15 pagi. Epic job is epic.

    banyak begadang mengarah pada kantung mata yang membesar. Kantung mata yang membasar mengarah pada kerja keras yang (mungkin) mengenal lelah, tetapi mengesampingkannya. Arsitek menunjukkan bahwa seni membutuhkan kerja keras. Dua hal kesukaanku, seni dan kerja keras, yang melebur menjadi satu, arsitektur. Hal ini mengantarkanku pada film-film seperti

    1. 500th Days of Summer 


    Ini adalah salah satu film Indie terbaik yang pernah aku tonton, pertama kali diperkenalkan dalam Cannes movie festival. Pasti kalian sudah tau banyak tentang film ini. Singkat saja, untukku, film ini adalah film roman yang paling logis yang pernah ada. Seorang laki-laki bertemu dengan seorang wanita dalam sebuah kemungkinan yang sangat kecil. Si laki-laki merasa yakin dengan si wanita, tapi sebaliknya, si wanita tidak merasa demikian, dan tetap demikian meskipun telah melewati beberapa ratus hari dengan si laki-laki. Mereka menjalani sebuah hubungan yang inkonstitusional; tidak melalui deklarasi resmi (jaman sekarang sepertinya hal itu tidak terlalu penting juga), tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan murni terbentuk karena konsensus. Dalam film ini kita diantar ke dalam pemikiran bahwa terkadang bukan keadaan dan bukan orang lain yang salah, tapi sudut pandang yang kita gunakan. Hal ini tercitrakan secara sempurna dalam scene expectation vs reality. Selain itu, kita juga diajarkan untuk melihat dengan hati, memilih yang hati kita tunjuk untuk dipilih. Summer Finn dengan gaya classy, tempting, dan tidak mudah 'dibaca'. Tom Hansen dengan mimpinya sebagai seorang arsitek yang merasa beruntung menemukan Summer Finn. Komposisi yang pas.

    2. The Lake House

    Film roman lain dengan twist yang cukup untuk bikin kamu bete dan senang dalam waktu yang bersamaan. Film ini bercerita tentang TDR, Time Different Relationship dimana sepasang manusia saling jatuh cinta melalui surat yang dikirimkannya satu sam lain. Mereka hidup di tahun yang berbeda, dan tersebutlah kotak pos ajaib yang menghubungkan keduanya. Mereka bersaing dengan waktu, mencari kapan ia lengah, dan melalui hitungan matematis mereka berusaha mencuri kesempatan untuk bertemu. Mereka tadinya tinggal di tempat yang sama, rumah kaca di tengah danau buatan si laki-laki yang bekerja sebagai arsitek. Menyenangkan, menegangkan, mengharukan. Pertama kali menontonnya, film ini terus memenuhi kepalaku. Dan bagian terbaik dalam film ini: Keanu.

    3. C I N (T) A

    One sentence: watch it by yourself, and later come back to me for payback because I've asked you to watch this movie. EPIC. 

    So,selamat menonton! :) 

    Trash part 1

    Sekitar 230 bahasa di dunia ini. Aku berbicara dengan Bahasa Indonesia. Cukup baik dalam Bahasa Inggris. Tiga tahun mempelajari Bahasa Jepang,dan sehubungan dengan sahabat penaku yang berkewarganengaraan Perancis, Meg, aku kini mempelajari Bahasa Perancis juga. Tetapi jika kau tanya mana yang menjadi favoritku, sudah pasti jawabannya adalah Bahasa Jawa. 

    Dari banyak bahasa tersebut, tidak ku temukan satu kata yang bisa mendeskripsikan ini. Mmm.. Sebuah komplikasi konstan antara tidak ingin bernafas menghirup depresi tetapi tak bisa meluputkan diri dari rutinitas yang mencekik. Kesemuanya mengaduk-aduk, menjegal syaraf kesadaran, mengacau perputaran hormon, dan akhirnya menuntun hati dan otak untuk bersinegi agar tidak melakukan apa-apa. 

    Jika boleh ku deskripsikan dalam satu kalimat, antara ingin melakukan karena memang menginginkannya dan dalam saat yang sama, tidak ingin melakukan karena takut merasa bersalah. Mungkin dalam Spiderman, Peter Parker menyatakan dengan, 'that you feel so strong and weak in the same time'.

    Baik baik.. cukup untuk posting yang sampah. Mari kita coba melakukan hal yang lebih berguna :) 

    Tentang yang Masih Melekat

    7.10.2012

    Ini yang selalu ingin kulakukan; memelukmu dengan hangat untuk sepuluh menit ke depan. Bermain dengan tanganmu, mengisi ruas-ruas jarimu dengan milikku untuk sepuluh menit lainnya. Melingkarkan lenganku di tulang lehermu, dan bersandar untuk puluhan menit berikutnya. Setelah genap satu jam, akan kubuat pengakuan bahwa berada di dekatmu adalah tempat ternyaman sedunia. 

    Layaknya savana dengan mata air. Di dekatmu aku merasa lapang, dalam jarak yang bertaut dan menyesakkan. Menyejukkan, membuai dalam kepengapan. 

    Hanya bersamamu pembicaraan tentang filsafat atau revolusi ekonomi Cina dan sejenisnya akan sangat gagal. Bersamamu, kita tak akan pernah membicarakan kontroversi keberadaan Penembak Misterius yang masih eksis di Irian Jaya. Kita tak akan pernah membicarakan betapa aku mengagumi Goenawan Mohammad dan syair-syairnya dalam Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai. Tak ada diskusi ilmiah dan seni. Tak ada pembicaraan cerdas.

    Dan aku terbiasa memilih membuang momen-momen tak bermanfaat seperti itu. Tetapi bersamamu, pembicaraan sampah pun tak akan pernah kulewatkan.

    Istimewa. Sekalipun kamu tak mengenyam filsafat dan seni, tak hobi bermain teater, tak pandai menenun frasa. Sekalipun kamu bukan mahasiswa jurusan arsitektur yang mahir melukis sketsa. Sekalipun kamu tak mengerti musik 70's mancanegara. Sekalipun kamu tak meraih IPK tiga koma lima. Sekalipun kamu sudah berdua dan kenyataan bahwa kita tak pernah benar-benar bersama, kamu masih istimewa.

    Mereka bilang, 'sudah tiga tahun'. Untukku, 'baru tiga tahun'. 

    Jaga dirimu baik-baik.

    Teguh yang Salah dalam Sebuah Stagnansi

    Awalnya aku selalu mencari sebuah kehidupan yang berharga; bermakna, berbicara tentang suatu pilar prinsip yang melahirkan keberanian dan keangkuhan untuk mempertahankannya. 

    Aku, seorang liberalis, pasti kalian sudah tau itu. Keputusanku untuk menjadi seorang pengelu kebebasan adalah, karena untukku, perspektif terbaik adalah dengan menjadikan pribadi insan sebagai fokus utama dalam perputaran semesta. Pengelihatanku yang paling sempurna, demikian juga dengan pendengaran dan perasaan. Pergerakan dunia yang menyesuaikan iri dengan indera. Orang bebas berkutat dengan pemikiran dan prinsipnya, karena itulah yang membubuhkan makna dalam realisasi hak asasi manusia. Mereka berhak, dan itu adalah hal kodrati. Bagaimana seseorang menentukan jalan yang akan dilalui, batu yang akan ditapaki, gerbang yang ingin dia lewatkan, itu sepenuhnya, hak yang melekat secara kodrati. 

    Siang ini, seperti biasa, mereka beradu kata. Berusaha memperebutkan label menang yang merefleksikan kebenaran, atau kalah; dalam hal ini, a contrario, kalah akan selalu berarti salah. Pertengkaran yang sangat biasa, yang justru telah menjadi salah satu komposisi esensial dalam keseharian. Tanpanya, kikuk, tak biasa, tak lumrah. Ibu akan selalu lebih sering kalah daripada menang. Dia salah, selalu. Jika tidak demikian, justru keadaan jadi kikuk, tak biasa, tak lumrah. 

    Dalam kontemplasi, aku menyadari bahwa kesalahan yang periodikal adalah teman baik Ibu. Lambat laun, ide yang meletup adalah sebenarnya Ibu tak selalu salah atau tertinggal dalam materi yang diperdebatkan. Ibu selalu salah dalam menyajikan masalah dalam sebuah perdebatan. Caranya. Dia selalu menjadi dirinya sendiri, sesuka hati. Membentuk gambaran yang oleh sel otaknya dinyatakan sebagai apa yang benar. Mungkin dia lupa dia sedang tak bermonolog. Dia membebaskan dirinya dalam perdebatan yang tak bebas. Dia liberal dalam sebuah kekangan. Dan itu merujuknya pada falasi.

    Kita harus menyesuaikan liberalisme itu. Dia akan tumbuh, seperti pohon yang kian rindang dan menjelma menjadi kanopi, menjulang. Namun bukan berarti kita tak dapat memangkasnya. Mengendalikan pedal, itu yang harus dilakukan untuk bertahan. Karena kita hidup tak sendiri. Karena manusia adalah serigala bagi manusia lain, setidaknya demikian ucap Thomas Hobbes melalu frasa ‘homo homini lupus’-nya yang sangat termashyur. Manusia adalah makhluk sosial, dan aku benci mengakuinya. Dan jika mau merunut, kehidupan antar pribadi adalah sebuah conditia sine qua non, sebuah kasualitas. Aku hidup karena ayah dan ibu. Ayah dan ibu adalah sebuah komplemen. Sebuah rantai sosial dengan ketidakberhinggaan.

    Terlepas dari ide ini, aku akan tetap, dan selalu menjadi seseorang yang tak sepenuhnya.

    Referensi

    1.04.2012
    bloggyple, mari simak beberapa buku yang sedang aku cintai akhir-akhir ini. ini merupakan buku-buku yang bisa dikategorikan ke dalam genre seni dan filsafat. sebelumnya, thanks untuk teman OKK-seorang filsafat UI- yang sudah mau memperkenalkan saya-secara tidak langsung-dengan Goenawan Mohammad. yey!




    Indonesia Proses
    sesuai judulnya, buku ini menceritakan tentang filsafat transformasi yang terjadi di Indonesia. membaca buku ini seperti melakukan flashback ke masa pembentukan Indonesia-hampir di segala aspek-atau dapat disebut secara holistik. melalui buku ini, aku mulai mencari referensi lain tentang filsafat pemikiran para Fouding Fathers nya Indonesia. pemikiran Soekarno tentang marhaenisme, menurutku, masih yang paling menarik. ini buku pertama yang temanku pinjamkan.



    Teks dan Iman
    buku ini mengulas tentang dunia penulisan-dimana aku banyak men-skip bagian ini. bagian tentang iman sangat menarik, memberi jawaban mengapa banyak orang sukses terdoktrin dan berevolusi menjadi atheis.




    Debu, Duka, dsb
    yang satu ini sepertinya masih tergolong baru, karena baru muncul di galeri salihara. buku ini banyak mengulas tentang bencana yang banyak menelan korban jiwa-awal dari segala prahara dan nelangsa, yang kemudia dikorelasikan dengan eksistensi Tuhan yang didalih sebagai Yang Mahakuasa; Yang Maha mampu menciptakan segala yang diinginkan-Nya, termasuk di dalamnya kehendaknya atas penciptaan petaka bagi manusia. secara implisit, penafsiran yang salah terhadap kandungan buku ini bisa menjadi alasan-mengapa-seseorang-adalah-atheis episode 2.


    jika anda ada di Kota Depok, coba beli koleksi buku Goenawan Mohammad di TMBookstore karena anda mendapatkan layanan sampul buku gratis. untuk referensi filsafat lain, toko buku Gramedia memang lebih lengkap namu koleksi buku Goenawan Mohammad tidak cukup memuaskan. Oya, harga buku-buku ber-genre ini lumayan mahal, jadi jika anda punya teman yang memiliki buku ini, saya sarankan untuk meminjam. selamat membaca!

    Paradoks dalam Tiga

    Mungkin judul postingan ini terdengar seperti pembukaan pada awal narasi filsafat, namun sebenarnya bukan.

    Paradoks, mewakili kejadian yang aku anggap sebagai hitamnya putih. Kejadian yang sangat berlawanan dengan hakikat'nya'.
    Empat, karena paradoks ini aku temukan tiga (3) Januari lalu.

    kala itu aku sedang dalam langkahku menuju halte spekun (sepeda kuning) di belakang MUI setelah mengikuti latihan presidium untuk mubes (musyawarah besar) LK2 FHUI. dan tiba-tiba seseorang yang mengaku sebagai gadis cantik-penghuni rumah antik-a.k.a karlina, menelpon dan menyalak buas.

    dalam sambungan telpon kami, dia menumpahkan semuanya. menurut dugaanku, sebelumnya dia telah memendam kepenatan itu dengan dalih.. "okee.. aku adalah orang yang selalu bahagia, yang bodo amat sama masalah dunia. aku selalu merasa gembira, karena demikianlah dukungan semesta kepadaku. ini hanyalah bukan aku yang aku. inilah aku yang separuh kerasukan veda. untuk menjadi aku yang aku, aku harus santaiiii seperti di pantaiiii, asiiiik seperti di tasiiiik"

    "sumpah kun aku ngga ngerti kenapa aku ngerasa kayak mau UM.. aku ngerasa harus ngedapetin itu, kalo nggak aku mesti dimana lagi. aku ngerasa kayak ada sesuatu yang aku kejar, tapi aku nggak tau apa yang aku kejaaaarr. rasanya capeeekkkk! kemaren aku gabisa ngerjain fisika. hari ini anfis (anatomi fisiologi) juga gabisa. aku ngga ngerti lagiiiii.. kayaknya semua persiapanku itu bohooooooonnggg"

    dan untuk kemudian, gejala seperti di atas aku sebut sebagai over-insecure dan move-on-disability syndrome.

    aku merasa, karlina bukan seperti karlina. benar katanya, dia lebih mirip aku. aku yang sehari-hari, aku yang biasanya, yang selalu tegang menghadapi segala tes, ujian, lomba. yang selalu siaga, apapun itu yang akan aku hadapi. benar katanya, mungkin kita sedang 'soul exchanging' atau apalah yang maksudnya bertukar jiwa.

    masih basah dalam ingatan betapa stress nya aku menjelang ujian snmptn, dengan pakaian lusuh, rambut tidak disisir, dua hari tanpa mandi, mata yang berkantung. aku menjelma jadi orang gila; kata karlina. dan semuanya seperti terbalik. untuk saat ini karlina lah yang ada di posisi ku. dalam sambungan telpon kami, dia meneriakku, dia berhisteria..

    satu hal yang aku pelajari adalah bahwasanya manusia itu memanglah dinamis. terlebih lagi untuk kami yang masih duduk di bangku kuliah. ini benar-benar masa transformasi dimana ujian tidak bisa lagi kamu hadapi dengan sistem SKS (sistem kebut semalam), dimana kamu tidak bisa hanya berangkat-lalu-pulang kuliah untuk memaknai hidup, dimana prestasimu tidak dilihat hanya dari IPK namun juga keaktifan kamu di luar pembelajaran kuliah, dimana kamu menghadapi segalanya dengan lebih dan lebih dewasa

    siapapun itu, bagaimanapun wataknya, harus merasa bagaimana itu di bawah. jika tidak, dia tidak akan tau bagaimana rasanya di atas. ini adalah suatu perbandingan.. apakah mungkin kamu bisa menilai seseorang itu gemuk jika kamu tidak melihat pembandingnya, yaitu seseorang yang bertubuh seperti tongkat pramuka? kita baru akan mengerti bahagia adalah bahagia ketika kita telah merasakan sedih yang menelangsakan. kita baru akan merasa sukses itu sukses ketika kita telah pernah mengalami gagal yang menjatuhkan sebelumnya.

    dan pada akhirnya saya merasa bahwa 'paradoks' bukanlah kata yang tepat untuk mewakili semua ulasan ini. mungkin yang lebih tempat.. 'komplemen'?