• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
  • Teguh yang Salah dalam Sebuah Stagnansi

    7.10.2012
    Awalnya aku selalu mencari sebuah kehidupan yang berharga; bermakna, berbicara tentang suatu pilar prinsip yang melahirkan keberanian dan keangkuhan untuk mempertahankannya. 

    Aku, seorang liberalis, pasti kalian sudah tau itu. Keputusanku untuk menjadi seorang pengelu kebebasan adalah, karena untukku, perspektif terbaik adalah dengan menjadikan pribadi insan sebagai fokus utama dalam perputaran semesta. Pengelihatanku yang paling sempurna, demikian juga dengan pendengaran dan perasaan. Pergerakan dunia yang menyesuaikan iri dengan indera. Orang bebas berkutat dengan pemikiran dan prinsipnya, karena itulah yang membubuhkan makna dalam realisasi hak asasi manusia. Mereka berhak, dan itu adalah hal kodrati. Bagaimana seseorang menentukan jalan yang akan dilalui, batu yang akan ditapaki, gerbang yang ingin dia lewatkan, itu sepenuhnya, hak yang melekat secara kodrati. 

    Siang ini, seperti biasa, mereka beradu kata. Berusaha memperebutkan label menang yang merefleksikan kebenaran, atau kalah; dalam hal ini, a contrario, kalah akan selalu berarti salah. Pertengkaran yang sangat biasa, yang justru telah menjadi salah satu komposisi esensial dalam keseharian. Tanpanya, kikuk, tak biasa, tak lumrah. Ibu akan selalu lebih sering kalah daripada menang. Dia salah, selalu. Jika tidak demikian, justru keadaan jadi kikuk, tak biasa, tak lumrah. 

    Dalam kontemplasi, aku menyadari bahwa kesalahan yang periodikal adalah teman baik Ibu. Lambat laun, ide yang meletup adalah sebenarnya Ibu tak selalu salah atau tertinggal dalam materi yang diperdebatkan. Ibu selalu salah dalam menyajikan masalah dalam sebuah perdebatan. Caranya. Dia selalu menjadi dirinya sendiri, sesuka hati. Membentuk gambaran yang oleh sel otaknya dinyatakan sebagai apa yang benar. Mungkin dia lupa dia sedang tak bermonolog. Dia membebaskan dirinya dalam perdebatan yang tak bebas. Dia liberal dalam sebuah kekangan. Dan itu merujuknya pada falasi.

    Kita harus menyesuaikan liberalisme itu. Dia akan tumbuh, seperti pohon yang kian rindang dan menjelma menjadi kanopi, menjulang. Namun bukan berarti kita tak dapat memangkasnya. Mengendalikan pedal, itu yang harus dilakukan untuk bertahan. Karena kita hidup tak sendiri. Karena manusia adalah serigala bagi manusia lain, setidaknya demikian ucap Thomas Hobbes melalu frasa ‘homo homini lupus’-nya yang sangat termashyur. Manusia adalah makhluk sosial, dan aku benci mengakuinya. Dan jika mau merunut, kehidupan antar pribadi adalah sebuah conditia sine qua non, sebuah kasualitas. Aku hidup karena ayah dan ibu. Ayah dan ibu adalah sebuah komplemen. Sebuah rantai sosial dengan ketidakberhinggaan.

    Terlepas dari ide ini, aku akan tetap, dan selalu menjadi seseorang yang tak sepenuhnya.

    0 comments:

    Posting Komentar