• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
  • Berhala

    8.28.2013


    Aku menulis lagi di tengah kesibukan yang tidak manusiawi. Setidaknya itu kata beberapa kerabat yang memperhatikan tebalnya kantung mata dan tonjolan tulang belikat yang kian menegas pada penampilanku. Menurut kalender akademis kampus, aku masih libur. Jam tidurku membaik, 7 jam sehari. Sedari pagi, Claire de Lune selalu memenuhi sesudutan kamar. Aransemen yang sangat indah lagi meneduhkan dari Debussy. Sedikit banyak, sahutan nada-nada dalam rentang 4 menit itu membantuku membahasakan emosi.
    Claire de Lune adalah pengiring segala yang merah jambu.

    Banyak orang mempertanyakan hal-hal yang sangat sulit dijawab. Seperti: mengapa ada Tuhan yang satu dan ada pula yang berkomplot dalam oligarki, atau apa akar masalah dari kondisi Indonesia yang sangat terpuruk ini. Aku pun juga menyimpan pertanyaan yang demikian. Dalam tulisan ini, setidaknya aku ingin sedikit membahas tentang pertanyaan yang cukup mendistorsi kesadaranku. Masih berkaitan dengan merah jambu tentunya.

    Ini tulisan pertamaku tentangmu. Meskipun aku sudah menghabiskan banyak waktuku menjadi pandir untuk mengabadikan sosok yang menyerupaimu selama 3 tahun. Alih-alih membangkitkan diri sendiri, aku justru memberhalakannya, dulu. Kini kamu ada seolah untuk menggantikannya. Lengkap dengan seluruh variabel yang melekat padanya: kulit segelap kopi hitam favoritku, mata sayu yang tatapannya selalu menjadi serangan fajar bagiku, humor serupa keripik singkong, dan tentu saja dingin perlakuanmu yang membuatku segila ini.

    Aku adalah salah satu perempuan yang kerap disalahsebutkan sebagai laki-laki. Banyak ramalan bintang murahan yang menyatakan bahwa Libra mengalami kebingungan dalam menyeimbangkan perasaan dan rasio. Dalam kasusku, aku limpung dalam penggunaan perasaan. Syukurlah, sahabat karibku justru merajai hal tersebut meskipun terkadang juga berlebihan. Semenjak aku memenangkan rasio sebagai basis pengambilan tindakan (inilah alasan beberapa kerabat mengatakan seharusnya aku menjadi laki-laki), aku berpegang teguh pada prinsip bahwa manusia harus mampu hidup sendiri apapun itu kondisinya. Ibnu Taimiyyah bahkan mengajarkan supaya kita tidak bergantung pada orang lain karena dalam kegelapan pun, bayangan akan meninggalkan diri kita sendiri. Ajaran itu kusimpan rapi dalam lubuk hati dan seluruh syaraf otak. Dampaknya, aku selalu berusaha menolak adanya ketergantungan atas apapun, kepada siapapun. Dalam konteks cinta, menurutku, suatu hubungan justru menjadi arena pengakuan inferioritas seseorang terhadap orang lain.

    Seperti kata seseorang yang mungkin kini membenciku, aku bipolar, mengandung banyak kontradiksi yang tak tertangguhkan. Bahkan dalam prinsip yang baru kusebutkan di paragraf sebelumnya, aku mengalami anomali. Berkat kehadiranmu tentunya, terima kasih.

    Baru kusadari sebelum aku mengamini prinsip tersebut, aku terduduk inferior setiap ada di dekatmu. Aku sulit mafhum dengan jebakan skenario ini. Bertemu denganmu adalah hal yang tak akan pernah kusebut sebagai doa dalam sujud panjangku. Untuk mengulang masa lalu, tidak.. Tentu saja aku tidak mau. Sepertinya Tuhan mendengar ketidakinginanku itu. Namun buruknya, Ia justru mengirimmu sebagai berhala yang lebih akbar. Yang hanya mampu ku sembah dan ku agungkan, tanpa benar-benar menampakkan balasannya. Acuh. Tak perlu waktu yang lama untuk menyadari bahwa sekte penganutmu beraliran sesat, aku berlari menjauh. Berlari menapaki jazirah kering beralaskan butiran pasir yang justru memperberat langkah. Di sana, kompas tak berfungsi dan angin berhembus tak menentu. Tak ada bintang selatan atau komet jatuh sebagai pedoman kemana harus melangkah. Aku praktis hilang,

    dan berakhir pada kepulanganku padamu.
    Kau membuatku arif dan gila dalam waktu yang sama. Menyembuhkan lagi menjadi candu.
    Memulas kebahagiaan pada carik memoria untuk menegaskan, "yang seperti ini bukan untuk kau miliki".
    Aku gila.

    Dalam ketidakwarasan, imanku adalah sajak yang berbicara banyak melalui bahasa yang sedikit.

    Siapa jang mengantarkan kita?
    Hati kita sendiri, lebih unggul dari
    derita, lebih unggul dari putus asa, lebih unggul
    dari sepi; ditanamnja pohon djeruk
    di pekaranngan bekas rumah kita, ditjoretkannja
    kapur penolak bala di tiap ambang pintu,
    lalu kita tusuk sendiri duabelah mata kita
    agar tak terlihat lagi adegan-adegan tjinta,
    agar tak sakit hati mengenangkannja

    Sapardi memberiku harapan 'Pada Suatu Hari Nanti'.
    Akan tiba waktunya seluruh berhala dihancurkan laiknya perjuangan kaum Islam untuk menebas konservatisme Jahilliyah.
    Akan tiba waktunya, waktuku, untuk itu.


    Menyukaimu hingga gila. Sungguh menyukaimu.
    Ditulis dengan instabilitas akut. Sial, mengapa harus seperti ini.


    0 comments:

    Posting Komentar